Sosok - Warisan Flores https://warisanflores.com Trip Channel | Travel Agent | Unrevealed Flores Thu, 04 Jul 2024 13:46:19 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.2.6 https://warisanflores.com/wp-content/uploads/2022/10/cropped-ico-wa-32x32.png Sosok - Warisan Flores https://warisanflores.com 32 32 Florasta Barista: Life Must Go On https://warisanflores.com/florasta-barista-life-must-go-on/ https://warisanflores.com/florasta-barista-life-must-go-on/#comments Thu, 04 Jul 2024 13:24:16 +0000 https://warisanflores.com/?p=2776 “Waktu itu adalah lingkaran nasib tanpa henti. Siang-malam, pagi-petang, sepanjang tahun tak pernah rehat. Dalam setiap kesempatan putaran nasibnya, selalu terjadi tiga kemungkinan. Paralel, Bergerak, Serentak.” – Tere Liye “Berhenti merasa kamu begitu kecil. Kamu adalah alam semesta yang bergembira.” – Jalaludin Rumi Petuah bijak di atas adalah tentang ‘waktu dan potensi diri’. Bagaimana semestinya...

The post Florasta Barista: Life Must Go On first appeared on Warisan Flores.

]]>

“Waktu itu adalah lingkaran nasib tanpa henti. Siang-malam, pagi-petang, sepanjang tahun tak pernah rehat. Dalam setiap kesempatan putaran nasibnya, selalu terjadi tiga kemungkinan. Paralel, Bergerak, Serentak.” – Tere Liye

“Berhenti merasa kamu begitu kecil. Kamu adalah alam semesta yang bergembira.” – Jalaludin Rumi

Petuah bijak di atas adalah tentang ‘waktu dan potensi diri’. Bagaimana semestinya ia dimaknai dan digunakan secara efektif dan produktif. Banyak orang boleh mengetahuinya, namun hanya sedikit yang bisa menjalaninya. Dan dari yang sedikit itu, kita boleh memeluk ketekunan, keuletan, kegigihan dan kesabaran yang mereka munculkan dalam tindakan dan membawanya pada pikiran dan tindakan kita juga.

Sore menjelang Magrib, seperti biasa, Bukit Amelia di utara Kota Labuan Bajo mulai didatangi pengunjung. Gugusan perbukitan di kawasan ini memang memberikan pemandangan yang mempesona. Sejatinya, ada beberapa bukit di wilayah utara kota Labuan Bajo ini, namun Bukit Amelia yang menjadi favorit karena memiliki puncak paling tinggi. Dari titik tringulasinya yang menghadap ke utara, kita bisa menikmati hamparan punggung bukit yang diselimuti rumput savana dan barisan pohon lontar yang tumbuh berjarak.

Sisi timurnya menawarkan pemandangan lengkungan teluk yang tenang dengan hamparan bakau pada garis pesisirnya, serta badan jalan yang membelah kaki bukit dan pantai. Juga menjadi jalur lintasan pesawat ketika terbang dan mendarat ke arah Selatan. Sebelah baratnya menyajikan pemandangan matahari terbenam yang memanjakan mata. Orang akan duduk di batu-batu, mengamati dan menikmati matahari yang perlahan tenggelam, lalu menyisakan cahaya jingga yang menawan, memberi bayangan pada permukaan laut  tempat kapal-kapal mengapung. Bukit Amelia merupakan salah satu sunset view point terbaik.

Di kaki bukit itu, disalah satu sudut yang berdekatan dengan tempat kendaraan-kendaraan pengunjung diparkir, sebuah sepeda motor bebek memikul gerobak. Di laci-laci kecilnya berjejer toples berisi bubuk kopi, susu cair, gula, dan termos air. Pada laci yang lain, sebuah kompor portable tersimpan rapi, juga cangkir sekali pakai, dan peralatan seduh kopi. Sebuah kotak pendingin disimpan dibawah, disebelah ban depan, tempat beberapa botol minuman direndam dalam batangan es. “Kopi Tuk”, demikian gerobak sepeda motor itu digantungi label nama.

“Mau arabika? Robusta? “, sebuah tawaran yang saya dengar sesaat setelah memarkirkan sepeda motor persis disamping gerobak itu. Seorang pria paruh baya berkulit legam, berambut ikal panjang yang diikat kebelakang terlihat sibuk menunjukkan beberapa pilihan jenis kopi sembari tersenyum menunggu respon pria muda yang berdiri didepannya.

“Arabika saja, om”, jawab pelanggan tersebut, lalu ia pun bergegas menyiapkan pesanan. Setelah mendapati secangkir arabikanya, laki-laki muda itu berjalan menuju ke sebuah bangku kayu yang sudah disipakan disebelah gerobak.

“Hei adik, mari sudah”, sapanya ramah dan penuh senyum ketika saya mendekat. Seperti biasa, aura penuh semangat terpancar jelas dari wajahnya. Setelah memesan kopi, kami lalu terlibat dalam obrolan panjang dan menyenangkan.

Agustinus Surban Puka, seorang pemandu wisata senior di Labuan Bajo. Beliau senior saya di DPC HPI Manggarai Barat. Spesialisnya Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Usianya sudah lebih dari setengah abad, namun semangatnya masih menyala. Penampilannya selalu nyentrik. Rambut keriting panjang, kadang diikat, kadang juga ditata rapi dengan bandana.

Sebelum Covid-19 melanda dunia hingga memporak-porandakan pariwisata, Om Agus (sapaan akrabnya) jarang dijumpai di Labuan Bajo. Ia menjelajah kebanyak tempat, membawa wisatawan berlayar dari Bali, Lombok, hingga Taman Nasional Komodo, lalu menyusuri eksotisnya daratan Flores. Namun sejak pandemic datang, hidup dalam sektor pariwisata menjelma sebuah mimpi buruk. Puluhan pesanan perjalanan wisata dibatalkan seketika. Tidak ada orang yang mau berlibur. Bayangan akan musim ramai wisata tahun 2020 mendadak sirna. Covid-19 datang tanpa memberi aba-aba. Kehidupan akhirnya menyisakan dua pilihan, meratapi keadaan atau ‘life must go on’ dengan semangat mencari berkat dalam bencana.

Pun demikian dengan Agus Puka. Tak mau lama-lama berada dalam ketidakpastian. Ia mulai berpikir apa yang bisa dilakukan. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Beberapa waktu, ia terlibat di pengerjaan proyek pembangunan fasilitas wisata Goa Batu Cermin. Hingga suatu waktu, ia mendapat ide untuk memberdayakan kembali sepeda motornya yang sudah tua.

“Saya melihat, semua kita di sini pecinta kopi. Setiap hari kita minum kopi. Bagaimana kalau saya menjual kopi keliling saja?”, cerita Om Agus mengenai bagaimana ia memulai usahanya. Ia lalu menyusun konsepnya dan menerjemahkannnya kedalam bentuk yang paling relevan dia bisa lakukan. Dia membuat gerobak sendiri. Ia belajar meracik kopi dari tontonan di youtube, lalu ia melabeli dagangan kopi kelilingnya dengan “Florasta Barista”.

“Tentang kopi, saya belajar otodidak saja. Belajar sambil bekerja, bekerja sambil belajar”, jelasnya dengan tertawa. “Florasta Barista itu nama yang saya pilih. Walau bukan barista profesional, namun saya melayani pelanggan saya dengan prinsip pelayanan prima”, tambahnya lagi. Hingga sejak ia memulai hari pertamanya sebagai pedagang kopi keliling, ia bersyukur ternyata banyak orang yang merespon baik. 

“Awalnya saya nongkrong di sebuah tempat proyek, ternyata banyak yang beli. Mereka borong semua. Lalu darisitu, saya semakin semangat”, ceritanya.

Seiring berjalannya waktu, Agus Puka pelan-pelan belajar, mensiasati kekurangan yang ada hingga melengkapi kebutuhan dagangan. Ia terus berupaya untuk menaikkan kualitas dan kuantitas penjualan. Ia merapikan desain dan kemasan, membeli payung untuk gerobak, menyediakan speaker kecil untuk musik, dan lampu tenaga surya untuk penerangan malam.

Pada dinding gerobak ia tulis “Kopi Tuk”.

“Itu untuk memancing orang-orang bertanya, apakah bubuk kopi yang saya gunakan benar-benar dari biji yang ditumbuk? Nah, di situ saya akan bercerita. Saya suka bercerita, suka bertemu orang, dan dengan menjual kopi keliling begini, saya jadi punya banyak teman bertukar cerita”, ungkapnya.

Ketika berdagang, tentu saja segala bentuk kreativitas harus diberdayakan. Yang utama adalah bagaimana kita bisa berkomunikasi kepada pelanggan. Kopi adalah salah satu pemantik cerita yang baik. Tapi bagi Om Agus, bukan hanya kopi, ia juga menggunakan musik sebagai medium berkomunikasi dengan pelanggannya.

“Kalau berhenti di sebuah tempat, saya suka putar musik Reggae. Ternyata banyak orang yang suka bahkan ikut bergoyang”, katanya.

Setiap kali berjualan, Agus Puka juga menyediakan karung sampah. Ia selalu menginformasikan dan mengingatkan kepada setiap pelanggannya untuk mengembalikan cangkir kopi yang mereka pakai dan dibuang langsung didalam karung yang ia bawa.

Bayangan tentang gairah pariwisata setelah Pandemic belum menjadi prioritas seorang Agus Puka. Bahkan rencana untuk kembali aktif dalam dunia wisata masih belum ia pikirkan. Saat ini, ia sedang bersemangat dan fokus untuk mengembangkan usaha dagangan kopi kelilingnya.

“Untuk sementara, saya masih fokus kembangkan ini dulu. Kalaupun nanti pariwisata kembali pulih, lihat nanti. Tapi sekarang, saya menikmati pekerjaan ini”, jelasnya.

Hari pun sempurna gelap. Sungguh menyenangkan sekali obrolan kami sejak sore tadi, mendengarkan kisah-kisah inspiratif dari seorang Agus Puka. Bagimana ia bersiasat, merespon perubahan situasi. Ditemani secangkir Robusta Manggarai dari olahan tangan kreatif laki-laki eksentrik ini, kami menikmati malam, ditemani alunan Bob Marley yang meneriakkan Redemption Song. 

“Lakukan apa yang bisa kita lakukan hari ini, jangan menunggu besok. Gengsi menghambat kita berkembang dan mencoba hal baru. Padahal kita hanya perlu mencoba, selanjutnya akan terbuka jalan. Bila bukan jalan untuk hal yang kita coba, mungkin jalan untuk hal lainnya” – Agus Puka

Foto: NM Bondan | Narasi: Boe Berkelana

The post Florasta Barista: Life Must Go On first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/florasta-barista-life-must-go-on/feed/ 2
Pater Verheijen SVD dan Warisannya untuk Manggarai dan Komodo https://warisanflores.com/pater-verheijen-svd-dan-warisannya-untuk-manggarai-dan-komodo/ https://warisanflores.com/pater-verheijen-svd-dan-warisannya-untuk-manggarai-dan-komodo/#respond Thu, 01 Jun 2023 07:00:00 +0000 https://warisanflores.com/?p=2578 Seiring masuknya agama Katolik di Manggarai-Flores tahun 1912, beberapa tahun setelahnya, beberapa imam katolik (pastor SVD) dari Eropa hadir di Manggarai. Mereka mengajar di seminari, mengabdi di keuskupan, atau mengabdi di paroki di pelosok Manggarai. Mendapat tugas di Manggarai, para imam katolik ini bekerja lebih dari sekedar menjadi gembala. Di kemudian hari, melalui jejak karya...

The post Pater Verheijen SVD dan Warisannya untuk Manggarai dan Komodo first appeared on Warisan Flores.

]]>

Salah satu Buku Pater Jilis Verheijen SVD “Manggarai dan Wujud Tertinggi” yang mengupas konsep ketuhanan orang Manggarai

Seiring masuknya agama Katolik di Manggarai-Flores tahun 1912, beberapa tahun setelahnya, beberapa imam katolik (pastor SVD) dari Eropa hadir di Manggarai. Mereka mengajar di seminari, mengabdi di keuskupan, atau mengabdi di paroki di pelosok Manggarai.

Mendapat tugas di Manggarai, para imam katolik ini bekerja lebih dari sekedar menjadi gembala. Di kemudian hari, melalui jejak karya yang mereka tinggalkan, mereka juga dikenal sebagai Antropolog, Linguist, Etnolog, hingga Botanist. Ada yang penasaran dengan keberadaan gua-gua lalu ia meneliti fosil-fosilnya. Ada yang penasaran dengan komunitas setempat lalu ia mengkaji budaya, bahasa, dan segala hal tentang tanah, air, dan orang-orangnya. Ada yang penasaran dengan kekayaan flora lalu menjelajah rimba raya, naik turun gunung lalu ia memberi nama pada pepohonan dan semak-semak.

Salah satu imam Katolik dari Eropa yang sangat mendalami Manggarai adalah Pater Jilis Antonius Josephus Verheijen yang di kemudian hari dikenal dengan Pater JAJ Verheijen. Imam asal Belanda ini tiba di Manggarai tahun 1935 lalu menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Manggarai. Ia lahir tahun 1908, meninggal tahun 1997 di usia 89 tahun. Selama 58 tahun dari usianya ia habiskan di Manggarai (1935-1993).

Masa-masa awal setibanya di Manggarai, ia langsung jatuh cinta dengan Bahasa Manggarai. Untuk mempelajari Bahasa Manggarai, ia mengumpulkan dongeng-dongeng, mitos, dan teka-teki orang Manggarai. Ia menulis dan mempelajari bahasanya. Melalui Bahasa Manggarai, ia kemudian mulai tertarik dengan budayanya. Ia gunakan kemampuan bahasa Manggarainya sebagai pintu masuk untuk menyingkap banyak hal tentang Manggarai. Ia mengkaji budayanya, hingga mempelajari nama-nama tumbuhan dalam Bahasa Manggarai dan menerjemahkannya ke Bahasa Inggris.

Sorotan isi buku – konsep ketuhanan orang Manggarai dalam buku “Manggarai Dan Wujud Tertinggi” Karya Pater Jilis Verheijen SVD

Tahun 1970, didorong oleh ketertarikannya akan nama-nama di peta Pulau Komodo yang berbunyi seperti Bahasa Manggarai, ia kemudian menjadi penasaran dengan kehidupan orang-orang di Pulau itu. Hingga akhirnya tanggal 16 hingga 24 Juli 1997 ia benar-benar menyeberang ke Pulau Komodo. Di Pulau Komodo ia berjumpa Abdul Rajab, tetua adat Komodo kala itu. Abdul Rajab kemudian menjadi salah satu informan pentingnya untuk penelitiannya tentang orang-orang Komodo.

Tak cukup dengan kunjungan pertama itu, tanggal 01 hingga 07 Juni 1982 ia melakukan kunjungan ke Pulau itu lagi. Cerita tentang dua kunjungannya ini ke Pulau Komodo ia kisahkan juga di buku tentang (suku) Komodo yang ia tulis ” Pulau Komodo, tanah, rakyat, dan Bahasanya” terbitan Balai Pustaka tahun 1987. Buku ini tentu sangat berjasa dalam memetakan kemungkinan asal-asul Ata Modo dan kekayaan linguistik yang mereka punya. Buku yang bisa jadi menjadi fondasi untuk riset-riset antropologis-sosiologis-linguistik tentang orang-orang Komodo dan peradabannya.

Pada suatu sore beberapa pekan lalu, seorang kawan dari Maumere yang kebetulan berkunjung ke Perpustakaan Leda Lero mengirim foto beberapa buku tentang Manggarai karya Pater JAJ Verheijen. Buku-buku dan karya Pater Verheijen yang menjadi koleksi Perpus Leda Lero. Buku-buku tentang Manggarai, Komodo, Kamus Manggarai-Indonesia, Bahasa Rembong di Flores Barat, dan masih banyak lagi. Buku lainnya yang ia tulis dan menjadi ulasan yang yang komprehensif tentang konsep ketuhanan orang Manggarai adalah buku berjudul , “Manggarai dan Wujud Tertinggi”.

Demikianlah Pater Verheijen. Mengutip Doktor Karel Steenbrink, Profesor misiologi Universitas Utrecht-Belanda dalam bukunya “Orang-orang Katolik di Indonesia 2”, bahwa ada “tiga-raksasa” misionaris SVD yang sangat berjasa dalam bidang antropologi, etnologi, linguistik, dan agama asli di NTT. Dua di antaranya bekerja di Pulau Flores dan satunya lagi bekerja di Pulau Timor. Misionaris yang bekerja di Pulau Flores ialah P. Paul Arndt SVD yang mendalami antropologi budaya (ragawi) mulai dari Bajawa lalu Ende, Maumere, Larantuka, hingga ke pulau-pulau kecil sebelah timur Flores dan menghasilkan beberapa karya besar. Yang kedua ialah P.J. Verheijen SVD yang bekerja di Manggarai dan mendalami Manggarai; budaya, bahasa, antroplogi, kepercayaan aslinya dan menghasilkan banyak karya monumental tentang Manggarai.

Buku kumpulan Dongeng-dongeng Manggarai karya Pater Verheijen SVD yang Dijual di Perpustakaan STFK Ledalero Maumere

Dengan mengikuti pola kategorisasi K. Steenbrink juga, Frans Borgias MA, Peneliti dan Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung asal Manggarai Flores di salah satu tulisannya tentang Pater Erwin Schmutz (Imam Katolik SVD dari Eropa lainnya yang pernah mengabdi di Manggarai), berpendapat bahwa ada “empat raksasa” misionaris SVD yang bekerja sangat berjasa bagi Manggarai Raya. Keempat orang itu adalah Pater Jilis Verheijen SVD, Uskup Wilhelmus van Bekkum SVD, Pater Adolf Burger SVD, dan Pater Erwin Schmutz SVD. Untuk nama terakhir, Pater Erwin, ia sangat populer di wilayah Sano Nggoang hingga ke kampung saya di Naga, Desa Matawae, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat Flores. Ia Imam katolik dari Jerman dan selama 30 tahun menjadi pastor paroki di beberapa wilayah di Manggarai Barat di antaranya menjadi Pastor Paroki di Rangga dan di Nunang-Wae Sano, dan hingga kini ia dipercaya menjadi satu-satunya orang yang bisa berenang di Danau Sano Nggoang dari ujung ke ujung.

Selain empat nama di atas, ada juga nama Theodore Lambertus Varhoeven SVD yang menemukan Gua Batu Cermin tahun 1951, meneliti Liang Bua tahun 1963, dan menemu-populerkan beberapa situs gua lainnya di Pulau Flores.

Pater Verheijen SVD, seiring kepergiannya kepada Sang Ilahi pada tahun 1997, ia meninggalkan warisan yang sangat berjasa untuk Manggarai dan Komodo. Warisan karya dan pendokumentasian yang akan terus bisa dijenguk-baca kini dan masa depan. Buku-buku dan karyanya akan selamanya menjadi Warisan Flores.

Foto & Narasi: Boe Berkelana

(Tour Interpreter Di Warisan Flores)

The post Pater Verheijen SVD dan Warisannya untuk Manggarai dan Komodo first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/pater-verheijen-svd-dan-warisannya-untuk-manggarai-dan-komodo/feed/ 0