Perjalanan - Warisan Flores https://warisanflores.com Trip Channel | Travel Agent | Unrevealed Flores Fri, 01 Sep 2023 03:33:09 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.2.6 https://warisanflores.com/wp-content/uploads/2022/10/cropped-ico-wa-32x32.png Perjalanan - Warisan Flores https://warisanflores.com 32 32 Travel Makes Friends https://warisanflores.com/travel-makes-friends/ https://warisanflores.com/travel-makes-friends/#comments Fri, 01 Sep 2023 03:26:25 +0000 https://warisanflores.com/?p=2741 Selepas makan malam, saya melakukan obrolan dengan rekan pejalan lainnya yaitu Emilia, Maria, Noi, dan Mei dari Spanyol. Mereka berempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Granada. Ini perjalanan perdana mereka ke Flores dan ke Indonesia dan perjalanan kedua mereka pasca pandemi Covid19. Sebelumnya mereka traveling ke wilayah Amerika Selatan. “Ini pertama kali...

The post Travel Makes Friends first appeared on Warisan Flores.

]]>

Selepas makan malam, saya melakukan obrolan dengan rekan pejalan lainnya yaitu Emilia, Maria, Noi, dan Mei dari Spanyol. Mereka berempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Granada. Ini perjalanan perdana mereka ke Flores dan ke Indonesia dan perjalanan kedua mereka pasca pandemi Covid19. Sebelumnya mereka traveling ke wilayah Amerika Selatan.

“Ini pertama kali kami ke Indonesia. Sebelum ke Labuan Bajo kami ke Nusa Penida, Gili, dan Komodo. Kami mendapati informasi tentang Wae Rebo di internet”, jelas Emelia dengan Bahasa Inggris aksen Spanyol.

Tadi malam, kampung kecil nan sunyi di ketinggian 1100an mdpl ini lumayan ramai pengunjung. Dua Mbaru Niang kapasitas dua puluhan orang yang memang khusus diperuntukkan untuk penginapan pengunjung terisi semua. Suasana ramai, riuh dengan obrolan saat dan selepas makan malam.

Selain Emilia dan tiga kawannya, tamu asing lainnya yang menginap adalah satu keluarga dari Ukraina dan sepasang kekasih dari Kanada. Yang lainnya tamu domestik, sekeluarga dari Jakarta, anak-anak muda dari Makassar, dan tiga mahasiswa dari Malang. Kawan-kawan dari Malang ini memilih traveling melalui jalur laut dari Surabaya dengan kapal Pelni. Lalu ke Wae Rebo dengan sepeda motor dan Jumat besok akan ikut sailing open trip ke Taman Nasional Komodo.

“Kami sengaja memilih Kapal Pelni dari Surabaya biar murah”, jelas salah satu diantaranya sambil terkekeh.

Ada yang sudah tiba di Wae Rebo pada siang kemarin, ada juga yang baru tiba di Wae Rebo pukul sepuluh malam lantaran memulai treking dari Pos 1 sekitar pukul enam lewat.

“Jalan malam, pakai senter. Hanya lihat batu-batu”, kata mereka. Seorang porter, orang asli Wae Rebo menemani perjalanan mereka dari Pos 1 hingga kampung Wae Rebo. “Kami sendiri, tiba di Dintor siang kemarin dan memulai treking ketika hari hampir gelap”.

Beberapa pengunjung ini akan kembali ke Labuan Bajo. Mereka melakukan tour dua hari satu malam Labuan Bajo – Wae Rebo. Sementara yang lainnya dalam perjalanan dari arah timur ke barat yaitu dari Maumere ke Labuan Bajo. Kemudian yang lainnya lagi, seperti grup kami, dalam perjalanan dari barat ke timur yakni Labuan Bajo hingga Maumere. Ada yang datang mengendarai sepeda motor, ada yang menggunakan mobil.

Dalam perjalanan pulang dari Wae Rebo ke Dintor, kami berjumpa dengan dua gadis dari Jogja. Mereka mengenderai sepeda motor sewaan dari Labuan Bajo, tour ke Wae Rebo dengan bantuan penunjuk arah dari google map. Hebat sekali mereka (membayangkan akses jalan berkelok-kelok dan beberapa ruas jalan yang rusak dan menggunakan motor matic).

Inilah Wae Rebo, inilah Flores. Orang dari mana-mana datang, berjumpa, merayakan alam dan budaya, merayakan perjumpaan, merayakan perkawanan lintas bangsa. Semua bersatu dalam bahasa penghargaan akan warisan alam dan budaya yang indah nan mempesona. Flores Nusa Bunga.

Foto & Teks: Boe Berkelana

The post Travel Makes Friends first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/travel-makes-friends/feed/ 1
Bapa Lipus: Tourism Is Just A Bonus For Us! https://warisanflores.com/bapa-lipus-tourism-is-just-a-bonus-for-us/ https://warisanflores.com/bapa-lipus-tourism-is-just-a-bonus-for-us/#respond Thu, 23 Feb 2023 09:12:34 +0000 https://warisanflores.com/?p=2523 Yesterday I had an opportunity to pay a visit to Wae Rebo again. I dont really remember how many times I’ve come and seen this traditional village since I organized tour to Labuan Bajo and Flores in 2018. But everytime I come here, the feeling is just still the same; amazed by its authentic Manggaraian...

The post Bapa Lipus: Tourism Is Just A Bonus For Us! first appeared on Warisan Flores.

]]>

Yesterday I had an opportunity to pay a visit to Wae Rebo again. I dont really remember how many times I’ve come and seen this traditional village since I organized tour to Labuan Bajo and Flores in 2018. But everytime I come here, the feeling is just still the same; amazed by its authentic Manggaraian traditional village with it’s 7 beautiful conical houses (Mbaru Niangs).

WaeRebo, which is at an altitued of 1100 meter above sea level, received Award of Excellence from UNESCO in 2012, the highest UNESCO award for Cultural Heritage Conservation. It received several other awards in the following year, but the recent one was the award from Ministry of Tourism and Creative Economy as the best tourism village in Indonesia (tourism attraction category).

We (Mr Stuart, his son, and I) arrived at the village at 5 pm after driving (with scooters) for about 4 hours from Labuan Bajo and another two hours hike from the parking lot to the village. After following the welcoming ritual at Mbaru Gendang (the drum house/main house) we had a chance to talk to Bapa Lipus and listen to their stories about the history of the village and how the feel now as the village is getting more and more attention from global travelers.

Bapa Lipus, one of the local community leaders at the village, stressed that with or without tourism (activities), they would still stay at Wae Rebo since the village is their ancestral land. “Tourism is just a bonus for us. This is our ancestral land and we will preserve what we have and will continuosly pass it on to next generation”, said Bapa Lipus.

He also told us the story of a Japanese researcher who came to Wae Rebo in 1970s and it was the first time for the village to be visited by foreigner. He also mention Catherine Allerton, whom he thinks as the one and only foreigner who stayed for almost two years at Wae Rebo. Catherine, an antrhopologist from UK, conducted research in Wae Rebo and published a book tittled “Potent Landscapae, Place and Mobility in Eastern Indonesia”.

Her research then lead her to know that the Manggarai people believe their land can talk, that its appetite demands sacrificial ritual, and that its energy can kill as well as nurture. They tell their children to avoid certain streams and fields and view unusual environmental events as omens of misfortune. Yet, far from being preoccupied with the dangers of this animate landscape, Manggarai people strive to make places and pathways “lively,” re-traveling routes between houses and villages and highlighting the advantages of mobility. Through everyday and ritual activities that emphasize “liveliness,” the land gains a further potency: the power to evoke memories of birth, death, and marriage, to influence human health and fertility.

Anyway, this is Waerebo, this is Manggarai. Welcome to a place where traditions meet the present and the future!

Foto & Teks: Boe Berkelana

The post Bapa Lipus: Tourism Is Just A Bonus For Us! first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/bapa-lipus-tourism-is-just-a-bonus-for-us/feed/ 0
Orang-Orang Yang Merawat Hidup di Punggung Ame Gelu https://warisanflores.com/orang-orang-yang-merawat-hidup-di-punggung-ame-gelu/ https://warisanflores.com/orang-orang-yang-merawat-hidup-di-punggung-ame-gelu/#respond Tue, 10 Jan 2023 00:38:13 +0000 https://warisanflores.com/?p=1668 Percikan air pada kepala dan wajah menyambut saya dan empat teman lainnya ketika tiba di kampung Kawa, Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo-Flores NTT. Bapak Andreas Meo (74 tahun), sesepuh Kampung Kawa yang menjemput kami di gerbang kampung, memegang kula, tempat air yang terbuat dari buah labu kering. Setelah mengucapkan beberapa kalimat dalam Bahasa Nage,...

The post Orang-Orang Yang Merawat Hidup di Punggung Ame Gelu first appeared on Warisan Flores.

]]>

Percikan air pada kepala dan wajah menyambut saya dan empat teman lainnya ketika tiba di kampung Kawa, Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo-Flores NTT. Bapak Andreas Meo (74 tahun), sesepuh Kampung Kawa yang menjemput kami di gerbang kampung, memegang kula, tempat air yang terbuat dari buah labu kering. Setelah mengucapkan beberapa kalimat dalam Bahasa Nage, ia memercikkan air dari kula, memohon pada pemilik semesta dan leluhur untuk merestui kami datang berkunjung. Di gerbang kampung, kami disambut dengan ritual adat.

Kampung Kawa adalah salah satu dari beberapa kampung adat di Kabupaten Nagekeo dan masuk dalam wilayah administrasi Desa Labolewa. Dari beberapa anak kampung di Desa Labolewa, Kampung Kawa merupakan kampung yang jaraknya paling jauh dari Pusat Desa. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari pertigaan jalan poros Mbay – Aegela. Perjalanan menuju Kampung Tradisional ini ditempuh selama hampir dua jam dengan berjalan kaki. Kampung Kawa berada di ketinggian sekitar 600 mdpl. Rumah adat orang Kawa berada di lereng Gunung Ame Gelu.

Hari itu, warga Kampung Kawa sedang beristirahat. Sehari sebelumnya adalah hari terakhir kegiatan berburu adat. Dalam budaya orang Kawa, sehari setelah hari terakhir berburu adat adalah hari berdiam di rumah. Tidak dizinkan untuk pergi bekerja di ladang dan kebun. Area ladang dan kebun berada di punggung gunung, tempat di mana Kemiri dan Jambu Mete bertumbuh rimbun. Selain Padi dan Jagung dan sayur-sayuran yang ditanam setiap musim hujan tiba.

Dalam bahasa Nagekeo secara umum, rumah disebut Sa’o. Demikian juga untuk orang-orang Kawa yang berbicara dalam bahasa Nage namun dengan dialek yang berbeda. Di Kampung Kawa ada dua belas Sa’o beratap ilalang dan berdinding bambu yang berdiri saling berhadap-hadapan. Sebagaimana di kampung adat lainnya di seluruh wilayah Nagekeo, tiap-tiap Sa’o memiliki nama dan melewati perjalanan adat yang sangat panjang.

Halaman Kampung adalah tempat menjemur hasil pertanian. Juga tempat bermain beberapa hewan ternak. Bapak Andreanus Ceme Owa (47 tahun), salah seorang warga bercerita kepada kami, bila pagi tiba, beberapa ekor kambing dan sapi berkumpul di halaman kampung, bermain bersama kabut dan menikmati udara pagi yang berhembus dari mulut Ame Gelu. Siang itu, kami menikmati keramahan tetua-tetua adat dan warga Kampung Kawa. Duduk bersila di teras Sa’o sembari mendengar bagaimana orang-orang Kawa merawat hidup di punggung Ame Gelu. Di Nagekeo, selain sawah hijau dan tambak-tambak yang melahirkan garam dan ikan, Kampung-kampung adat merawat peradaban di gunung-gunung.

Foto & Narasi: Boe Berkelana

The post Orang-Orang Yang Merawat Hidup di Punggung Ame Gelu first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/orang-orang-yang-merawat-hidup-di-punggung-ame-gelu/feed/ 0