Kuliner - Warisan Flores https://warisanflores.com Trip Channel | Travel Agent | Unrevealed Flores Sun, 03 Sep 2023 23:20:48 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.2.6 https://warisanflores.com/wp-content/uploads/2022/10/cropped-ico-wa-32x32.png Kuliner - Warisan Flores https://warisanflores.com 32 32 Gogos dan Cerita Perjalanan dari Sinjai ke Labuan Bajo https://warisanflores.com/gogos-dan-cerita-perjalanan-dari-sinjai-ke-labuan-bajo/ https://warisanflores.com/gogos-dan-cerita-perjalanan-dari-sinjai-ke-labuan-bajo/#comments Sun, 03 Sep 2023 23:20:48 +0000 https://warisanflores.com/?p=2748 Gogos, penganan berbahan dasar beras ketan dan santan kelapa ini adalah salah satu makanan khas tanah Celebes, Sulawesi. Dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar. Aroma daun pisang bakarnya mengundang selera, apalagi ketika bungkusannya dibuka dan beras ketan campur santannya dinikmati. Untuk jenis tertentu, Gogos bersisi ikan. Labuan Bajo sebagai rumah bagi beberapa suku dan etnis...

The post Gogos dan Cerita Perjalanan dari Sinjai ke Labuan Bajo first appeared on Warisan Flores.

]]>

Gogos, penganan berbahan dasar beras ketan dan santan kelapa ini adalah salah satu makanan khas tanah Celebes, Sulawesi. Dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar. Aroma daun pisang bakarnya mengundang selera, apalagi ketika bungkusannya dibuka dan beras ketan campur santannya dinikmati. Untuk jenis tertentu, Gogos bersisi ikan.

Labuan Bajo sebagai rumah bagi beberapa suku dan etnis memungkinkan Gogos juga mewarnai kuliner kota pesisir ini. Beberapa warga suku Bugis masih merawat tradisi ini dengan setia.

Ibu Hajah Nursiah salah satunya. Sejak lama, ia membuat Gogos. Karena ketekunan dan kesetiaannya, warga dan orang-orang yang mengenalnya memanggilnya ‘Umi Gogos’. Sebab ia seorang Ibu yang sudah pulang berhaji dan ia menjual Gogos.

Umi Gogos tinggal di Kampun Air. Dalam bahasa Bajo, Kampung Air ini disebut ‘Bitta Boe’. Dalam Bahasa Bajo, Boe berarti air, Air yang mengalir. Bahwa kadang hidup memang mesti dibiarkan mengalir seperti air. Tinggal di Kampung Air, di kawasan pesisir, Umi Gogos menjual Gogosnya di Pasar Wae Kesambi. Satu pasar tradisional utama di kota pariwisata unggulan nasional ini. Di pasar yang letaknya dekat dengan Gua Batu Cermin ini, Umi Gogos menempati satu area kecil di pinggir jalan, di depan emperan sebuah toko. Di sana, ia menjual. Ia duduk di kursi plastik, Gogosnya ia taruh di keranjang. Selain Gogos, ia juga menjual beberapa jenis kue lainnya.

Umi Gogos bercerita, ia berasal dari Sinjai, Sulawesi Selatan. Ia lahir di Sinjai, namun tumbuh besar di Labuan Bajo hingga kini sudah berusia 57 tahun. Orang tuanya membawanya ke Labuan Bajo ketika masih kecil. Setiap hari selepas Shubuh, Umi Gogos pergi menjual di Pasar Wae Kesambi dan akan pulang kembali ke rumah bila jualannya selesai.

Gogosnya ia jual Rp 2000 per bungkus. Ia membuat banyak Gogos setiap hari, menghabiskan sekitar 5 liter beras. Bila Anda kebetulan ke Pasar Wae Kesambi dan ingin menikmati lezatnya Gogos buatan Ibu Hj. Nursiah, tentu bisa singgah di lapak jualannya yang sederhana. Membeli Gogos dan segala kisah panjangnya.

Foto & Teks: Boe Berkelana

The post Gogos dan Cerita Perjalanan dari Sinjai ke Labuan Bajo first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/gogos-dan-cerita-perjalanan-dari-sinjai-ke-labuan-bajo/feed/ 1
Pala di Pajoreja – Nagekeo https://warisanflores.com/pala-di-pajoreja-nagekeo/ https://warisanflores.com/pala-di-pajoreja-nagekeo/#respond Sun, 13 Aug 2023 10:26:16 +0000 https://warisanflores.com/?p=2724 Tak banyak daerah penghasil Pala di Pulau Flores. Dua di antaranya yang populer adalah Kloangpopot di Kabupaten Sikka dan Mauponggo di Kabupaten Nagekeo. Itupun, pepohonan Pala ditanam disela-sela pohon komoditi andalan lainnya seperti Cengkeh dan Kakao. Pun demikian, bagi warga Pajoreja, Desa Ululoga, Kec Mauponggo, Pala menjadi andalan utama ketika Kakao tak lagi banyak berbuah....

The post Pala di Pajoreja – Nagekeo first appeared on Warisan Flores.

]]>

Tak banyak daerah penghasil Pala di Pulau Flores. Dua di antaranya yang populer adalah Kloangpopot di Kabupaten Sikka dan Mauponggo di Kabupaten Nagekeo. Itupun, pepohonan Pala ditanam disela-sela pohon komoditi andalan lainnya seperti Cengkeh dan Kakao. Pun demikian, bagi warga Pajoreja, Desa Ululoga, Kec Mauponggo, Pala menjadi andalan utama ketika Kakao tak lagi banyak berbuah.

“Dulu Kakao juga banyak di sini. Tapi penyakit. Sekarang orang-orang di sini banyak jual Pala”, kata Bapak Yosep Lipu (70 tahun), seorang warga senior kampung Pajoreja.

Saat ini, harga di pasaran, satu kilogram kering Pala dihargai 80 ribu rupiah. Selain buahnya, kulit buahnya juga bisa dijadikan uang. Furing (kulit ari dalam) dijual 220 ribu/kg. Sedangkan kulit luarnya seharga 4 ribu/kg. Oleh warga setempat, kulit Pala juga diolah menjadi manisan dan sirup.

Bapa Yosep Lipu bercerita, Pala di Pajoreja (Mauponggo) awalnya dibawa oleh Bapak Leo Pendi, orang Maumere yang menjadi guru di Obooja, Mauponggo pada sekitar tahun 1980an. Bertahun kemudian hingga kini, Pala telah menyebar ke hampir semua kebun dan pekarangan di hampir semua desa yang berada di kaki Gunung Ebulobo. Selain dijual di Pasar Mauponggo, Pala dari kampung yang menghadap Laut Sawu ini juga diambil langsung oleh pebisnis Pala dari luar Flores.

Saat ini, seiring akses ke Kampung Pajoreja dan penataan wisata desa yang semakin baik, beberapa travel agent juga “menjual Pala Pajoreja” sebagai bagian dari paket wisata jelajah Flores dengan tema “tour rempah Flores”. Tertarik ke Pajoreja? Ayo ke Flores.

Foto & Teks: Boe Berkelana

The post Pala di Pajoreja – Nagekeo first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/pala-di-pajoreja-nagekeo/feed/ 0
Di Colol, Ubi Talas Bisa Jadi Nasi (Kaget) https://warisanflores.com/di-colol-ubi-talas-bisa-jadi-nasi-kaget/ https://warisanflores.com/di-colol-ubi-talas-bisa-jadi-nasi-kaget/#respond Sat, 05 Aug 2023 07:17:08 +0000 https://warisanflores.com/?p=2713 Selama ini, Lembah Colol atau Colol Raya (yang melingkupi beberapa desa di Lambaleda Timur, Manggarai Timur Flores NTT) dikenal sebagai sentra penghasil Kopi terbaik di Flores selain Bajawa dan beberapa wilayah di Ende. Bila Anda ke Colol, pastikan Anda menyeruput Kopacol, Kopi Pa’it Colol. Namun menikmati Kopacol tak lengkap bila tak ditemani Teko, ubi talas...

The post Di Colol, Ubi Talas Bisa Jadi Nasi (Kaget) first appeared on Warisan Flores.

]]>

Selama ini, Lembah Colol atau Colol Raya (yang melingkupi beberapa desa di Lambaleda Timur, Manggarai Timur Flores NTT) dikenal sebagai sentra penghasil Kopi terbaik di Flores selain Bajawa dan beberapa wilayah di Ende. Bila Anda ke Colol, pastikan Anda menyeruput Kopacol, Kopi Pa’it Colol. Namun menikmati Kopacol tak lengkap bila tak ditemani Teko, ubi talas (colocasia esculenta).

Jauh sebelum nasi menjadi makanan pokok, sebagaimana di beberapa wilayah pelosok Manggarai lainnya, Teko telah menjadi andalan dalam pemenuhan kebutuhan pangan warga Colol. Pohon teko tumbuh rimbun di bawah pepohonan Kopi.

Awalnya, Teko hanya dinikmati seperti halnya menikmati Singkong dan jenis umbi-umbian lainnya. Direbus atau dibakar. Namun seiring perkembangan zaman dan seiring banyak tamu-tamu penting datang ke Colol, warga setempat memodifikasi Teko menjadi Nasi. Lalu diberinama Nasi Kaget.

“Tamu yang datang ini orang-orang penting. Mereka terbiasa makan nasi. Warga colol hanya memiliki Teko. Sebagai bentuk penghormatan, dibuatlah Teko jadi menyerupai nasi, supaya bisa dinikmati oleh tamu”, jelas Om Armandus, salah satu penggerak di Pokdarwis Colol.

“Awalnya tamu-tamu tidak tau kalau itu Teko. Hingga mereka mencicipi dan kaget dengan bentuk dan rasanya. Karena itulah kemudian diberinama Nasi Kaget”, tambahnya.

Kini, selain diolah dengan direbus dan dibuat menjadi nasi kaget, Teko juga diolah menjadi beberapa jenis kudapan hingga kripik. Bila ke Colol pastikan Anda menyeruput Kopacol dan menikmati Nasi Kaget. Maknyusss!

Foto & Teks: Boe Berkelana

The post Di Colol, Ubi Talas Bisa Jadi Nasi (Kaget) first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/di-colol-ubi-talas-bisa-jadi-nasi-kaget/feed/ 0
Songkol Dan Upaya Menghidupkan Cerita Makanan Khas Manggarai https://warisanflores.com/songkol-dan-upaya-menghidupkan-cerita-makanan-khas-manggarai-barat/ https://warisanflores.com/songkol-dan-upaya-menghidupkan-cerita-makanan-khas-manggarai-barat/#respond Fri, 06 Jan 2023 00:39:09 +0000 https://warisanflores.com/?p=1536 Pada masa lalu, sebelum mengenal beras, orang-orang Manggarai hidup dari jagung dan umbi-umbian. Mengacu ke linimasa sejarah, pada abad 18 jagung sudah menjadi makanan pokok di Indonesia Timur, bahkan di pulau kecil seperti Sumba, NTT. Namun, jagung sudah masuk NTT untuk pertama kalinya sekitar tahun 1670-an. Disebutkan jagung dari Pulau Timor dikenal sebagai “Indian corn”....

The post Songkol Dan Upaya Menghidupkan Cerita Makanan Khas Manggarai first appeared on Warisan Flores.

]]>

Pada masa lalu, sebelum mengenal beras, orang-orang Manggarai hidup dari jagung dan umbi-umbian. Mengacu ke linimasa sejarah, pada abad 18 jagung sudah menjadi makanan pokok di Indonesia Timur, bahkan di pulau kecil seperti Sumba, NTT. Namun, jagung sudah masuk NTT untuk pertama kalinya sekitar tahun 1670-an. Disebutkan jagung dari Pulau Timor dikenal sebagai “Indian corn”. Jagung dibawa bangsa Portugis dan Spanyol abad 16 sebagai salah satu dari beberapa jenis tanaman yang dibawa dari benua Amerika. Sedangkan umbi-umbian, khususnya singkong, belum didapati referensi dari mana awalnya ia berasal. Di Manggarai, orang-orang setempat mengolah jagung (latung) menjadi beberapa jenis makanan yaitu Lenco, Rebok, Wesang, Luwuk, Latung Cero, dan lain sebagainya. Sementara bahan dasar Singkong diolah menjadi Lemet, Songkol, dan lainnya.

Seiring perkembangan zaman, beberapa makanan yang disebutkan di atas sudah jarang ditemui dalam keseharian warga. Dominasi beras sudah terlalu kuat sebagai makanan pokok orang-orang Manggarai. Beberapa di antaranya memang masih bisa dinikmati di beberapa daerah, khususnya wilayah pelosok, namun banyak di antaranya yang hanya hidup dalam cerita-cerita, dalam ingatan. Tidak ditemukan wujud dan bentuknya. Songkol merupakan salah satunya.

  

Songkol di Manggarai Barat, boleh jadi penyebutannya berbeda untuk Manggarai tengah dan timur, ia dibuat dari tepung singkong kering (tete kilu). Dimasak menggunakan periuk dari tanah liat (lewing tanah) dan bambu (tobong). Potongan bambu yang telah berisi tepung singkong diletakkan di mulut periuk. Uap air panas dari periuk tanah masuk ke lubang-lubang kecil dibagian bawah bambu. Di beberapa wilayah pelosok Manggarai Barat, bambu diganti dengan anyaman tikar berbentuk kerucut, seukuran dengan mulut periuk tanah.

Tak mudah mendapati Songkol di Labuan Bajo, pun wilayah Manggarai Barat secara umum. Beberapa wilayah pelosok mungkin masih ada yang membuatnya, namun sudah sangat jarang terdengar. “Dulu Songkol ini makanan sehari-hari, Nana. Belum ada beras waktu itu”, cerita seorang Ibu di Kampung Melo siang ini. “Dulu biasanya makan dengan ikan. Ikan kering (nakeng dango) bakar. Ikan-ikan dibeli di Amba Warloka (pasar warloka kini)”, lanjutnya. Sejak dulu memang, orang-orang Manggarai tinggal di gunung-gunung. Mereka membuka ladang. Berkebun dari bukit ke bukit. Hidup dari apa yang ditumbuhkan tanah.

Untuk Manggarai Barat, satu-satunya pasar rakyat yang ada kala itu adalah Amba Warloka (pasar Warloka) di pesisir selatan Labuan Bajo. Orang-orang dari wilayah Mbeliling dan Sano Nggoang membeli ikan, garam, dan kebutuhan lainnya di pasar ini. Berjalan kaki puluhan kilometer. Bila ada yang menjual kemiri, mereka mengangkutnya dengan Kerbau. Amba Warloka adalah tempat berjumpanya orang-orang dari gunung dan orang-orang dari laut, khususnya orang-orang yang mendiami Pulau Rinca (kampung Kerora dan Kampung Rinca). Hingga kini, Amba Warloka masih bertahan, dan praktik barter antar penjual dan pembeli masih dilakukan.

Kini, tradisi membuat Songkol perlahan hilang. Di masa datang, mungkin ia hanya akan hidup di cerita-cerita dan ingatan-ingatan. Namun, itu masih baik. Cerita tentang songkol masih hidup. Ingatan-ingatan tentang Songkol masih belum memudar. Sebelum ia benar-benar hilang dari ingatan dan hanya akan menjadi dongeng, upaya-upaya untuk kembali menghidupkannya menjadi sebuah keniscayaan.

Dengan kesadaran akan pelestarian makanan tradisional dan penghargaan akan pengetahuan lokal, kini beberapa pihak mulai melakukan inisiatif dan langkah-langkah kecil. Menjadikan Songkol sebagai makanan lokal yang enak dan membanggakan dengan improvisasi pada tata cara penyajian.

Mai ga, hang Songkol!

Foto: NM Bondan
Narasi: Boe Berkelana

The post Songkol Dan Upaya Menghidupkan Cerita Makanan Khas Manggarai first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/songkol-dan-upaya-menghidupkan-cerita-makanan-khas-manggarai-barat/feed/ 0
Kokor Gola: Cerita Orang Manggarai Membuat Gula Merah https://warisanflores.com/kokor-gola-cerita-orang-manggarai-membuat-gula-merah/ https://warisanflores.com/kokor-gola-cerita-orang-manggarai-membuat-gula-merah/#respond Wed, 04 Jan 2023 12:40:53 +0000 https://warisanflores.com/?p=1598 Beberapa waktu lalu, sebuah video singkat beredar di beberapa grup Whatsapp. Sebuah video nyanyian satu bait lagu diiringi petikan gitar dengan lirik dalam bahasa Manggarai yang menarik. Sungguh Santik Wajahmu Ikeng Sungguh Cantik Wajamu, Nona One Piha Gau Hale Mai? Kapan Dikau Datang? Ape Pande Ame Gau Hale? Ayahmu Sedang Apa? Ame Gaku Kokor Gola...

The post Kokor Gola: Cerita Orang Manggarai Membuat Gula Merah first appeared on Warisan Flores.

]]>

Beberapa waktu lalu, sebuah video singkat beredar di beberapa grup Whatsapp. Sebuah video nyanyian satu bait lagu diiringi petikan gitar dengan lirik dalam bahasa Manggarai yang menarik.

Sungguh Santik Wajahmu Ikeng
Sungguh Cantik Wajamu, Nona

One Piha Gau Hale Mai?
Kapan Dikau Datang?

Ape Pande Ame Gau Hale?
Ayahmu Sedang Apa?

Ame Gaku Kokor Gola
Ayahku Sedang Kokor Gola

Demikian liriknya dalam Bahasa Manggarai dialek Kampung Kolang. Bahasa Manggarai sesungguhnya memiliki banyak sekali ragam dialek, termasuk saya sendiri menggunakan dialek Matawae dari Kecamatan Sanonggoang. Dalam terjemahan bait lagu diatas, Sang lelaki memuji kekasihnya dan menanyakan kabar kekasihnya tersebut, sekaligus menanyakan kabar ayahnya. Ia pun memberitahu bahwa ayahnya sendiri sedang Kokor Gola.

Apa itu Kokor Gola?

Secara bahasa Kokor bermakna memasak dan Gola yang berarti Gula. Namun secara istilah, makna Kokor Gola adalah aktivitas memasak Air Nira yang disadap dari Pohon Enau menjadi gula merah. Di Manggarai Barat, wilayah Kolang memang dikenal sebagai sentra produksi Gula Merah. Oleh sebab itu ada sebutan ‘Gola Kolang’. Di Kampung Kolang, aktivitas Kokor Gola adalah keseharian tanpa jeda. Dan Pohon Enau adalah pohon di mana nira disadap lalu dengan segenap ketekunan merubah nira itu menjadi gula merah yang manis rasanya dengan segala khasiatnya.

Selain Kokor Gola, sebutan-sebutan lain seputar aktivitas produksi gula merah yang menjadi kosa kata sehari-hari adalah pante minse, la’it gola, raping rana, dan lain sebagainya. Begitupun dengan wajan, sendok kayu, wadah/mall untuk menampung cairan gula yang sudah masak, semua memiliki ragam penyebutan. Pun di Kolang, ada syair-syair tertentu yang khusus dibuatkan untuk sadap nira, lagu-lagu yang dinyanyikan saat tewa raping. Tidak hanya dikenal sebagai sentra pembuatan gula merah dan arak lokal sopi, orang Kolang juga penuh dengan keramahan yang sering disebut dengan ramah lepak.

Sebaran produksi gula merah di Kabupaten Manggarai Barat masih didominasi oleh wilayah Kolang dan Ndoso, namun aktivitas sadap nira dan kokor gola juga ada di beberapa kampung lain seperti di Kecamatan Boleng, Macang Pacar, Mbeliling, dan Sano Nggoang. Salah satu kampung di Kecamatan Mbeliling yang masih merawat produksi gula merah dengan cara tradisional ini yaitu di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara. Di kampung yang kini menjadi salah satu tujuan wisata desa di Manggarai Barat ini, aktivitas Kokor Gola dilakukan oleh beberapa keluarga, salah satunya adalah keluarga Pak Borgias (50 tahun).

Pada sebuah kesempatan, saya berkunjung ke tempat Pak Borgias, melihat langsung proses pembuatan Gola Dereng ala Manggarai. Dalam sehari, ia bisa memasak nira untuk hasil 6 batang gula merah. Satu batang dijual dengan harga Rp 20.000. Proses masaknya menghabiskan waktu selama lima hingga enam jam. Di wilayah Manggarai Barat, gula merah kebanyakan dibuat dalam wadah persegi panjang sehingga hasilnya berbentuk gula batangan. dalam bahasa lokal disebut Gola Malang. Nama boleh Gola Malang, namun rasanya tak ‘semalang’ namanya.

Demikianlah Kokor Gola di Manggarai. Dari nira berubah menjadi Gola Malang atau Gola Dereng. Gula Merah yang manis rasanya dan ada filosofinya. Sebagaimana filosofi Kopi Tiwus dalam cerita film Filosofi Kopi, petani Gula Merah di Manggarai sepertinya bisa berkata, walau tak ada yang sempurna, sepanjang masih bisa Kokor Gola, hidup ini begini manis adanya. Sekiranya anda berkunjung ke Labuan Bajo, pastikan Gola Dereng ada dalam keranjang kenangan yang dibawa pulang.

Foto & Narasi: Boe Berkelana

The post Kokor Gola: Cerita Orang Manggarai Membuat Gula Merah first appeared on Warisan Flores.

]]>
https://warisanflores.com/kokor-gola-cerita-orang-manggarai-membuat-gula-merah/feed/ 0